Wednesday, February 6, 2013

A Whole New Backpacking Experience (Part 2): 4S - Susu Sapi Super Segar


Balada Extend Sehari, Rencana? Yasutralah
(abaikan perubahan tata bahasanya. lama-lama badan ikut kaku karenanya :D)

Sesampainya di luar stasiun, hampir saja terlewat, kami langsung bergegas membeli tiket pulang menuju Jakarta untuk hari Kamis. Tahap per tahap dilalui, sampai berniat beli empat seat biar dapet space lebih, eh, ternyata tiket habis! Yang ada kami harus menunggu hingga 31 Januari untuk dapet tiket kelas ekonomi biasa (demi budget). Duh! Padahal saya sebagai kepala rombongan (halah) sudah menyarankan untuk membawa budget yang sudah dihitung-hitung pas dengan embel-embelnya, tanpa memperhitungkan dana tak terduga macam kehabisan tiket bahkan extend begini. Kami pun pusing. Sempat berdiskusi cukup lama sambil keluar stasiun mencari makanan karena lapar belum sarapan. 


Setelah mendapatkan menu sarapan berupa makanan emperan super murah, kami terus melanjutkan diskusi mengenai transportasi pulang. Di tengah diskusi tersebut, kami bertemu dengan dua orang teman backpacker baru dari Jakarta. Namanya Indah dan Fitrah. Si Fitrah ini ternyata mahasiswi psikologi se-universitas dengan kami dan kenal dengan teman UKM-nya Alfred. Dan Indah, ternyata kenal dengan teman se-prodi kami yang tak lain adalah teman SMA-nya. Hahaha lucu sekali! Sudah hampir ke ujung pulau Jawa padahal. Sungguh sempit pulau ini ternyata! Si Indah dan Fitrah ini nasibnya ngga jauh beda kayak kami bertiga. Mereka berdua juga baru sampai di Malang dan tidak kedapetan tiket pulang. Mereka pun membeli tiket kereta kelas ekonomi AC untuk hari Jumat, karena itu pilihan satu-satunya untuk pulang lebih cepat. Meskipun sisa uang mereka tinggal 50 ribu rupiah padahal pulang ke Jakarta masih tiga hari lagi. Kasihan juga sama mereka. Sudah dua-duanya cewek, uang tinggal segitu pula. Untungnya (masih aja dibilang untung), mereka punya teman di Malang yang untuk beberapa hari masih bisa ditebengin. Atas saran mereka pula, kami bertiga akhirnya membeli tiket kelas ekonomi AC karena khawatir duit keburu abis menunggu sampe tanggal 31 Januari (pasti abis kalo nekat nunggu). Daripada di daerah orang kita ngga punya kenalan sama sekali, mending pulang secepatnya deh meskipun harga tiketnya hampir empat kali lebih mahal dari tiket keberangkatan kami, plus harus nambah liburan sehari karena rencana pulang awalnya hari Kamis. Hmmh.. the real backpacking atmosphere had finally come that time. Akhirnya tiket pun terbeli hanya tiga. Ya iyalah, mana kuat dan rela beli empat tiket dengan harga segitu. Kelar sudah urusan tiket pulang, aman sudah meski masih was-was semoga duit cukup selama muterin Malang dengan extend  sehari. The show must go on!
 
Met the nekaters: Fitrah (kiri) & Indah (kanan)

Mengingat duit yang sudah terpotong banyak karena tiket, akhirnya kita ubah rencana yang tadinya ke Bromo kemungkinan masih cukup untuk bayar patungan jeep, jadi berjalan kaki menuju Penanjakan. Dari hasil searching dan nanya warga setempat katanya ke Penanjakan memang bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari Cemoro Lawang. Dan karena extend sehari ini pula, rencana menuju Cemoro Lawang yang harusnya dimulai sesampainya di Malang, diundur jadi keesokan harinya. Berhubung sampai di Malang masih sekitar jam 10 pagi, maka kami memiliki waktu yang cukup panjang untuk menghabiskan hari pertama. Jadilah kami putuskan untuk berkeliling kota menggunakan angkutan umum.


Ngebolang Sampai ke Desa Bambang

Pas diskusi mau kemana di hari pertama, Alfred mengusulkan untuk mengunjungi satu lokasi pabrik keju di Malang yang sebelumnya pernah diceritakan oleh dosen kami.  Berbekal modal (selalu)  nekat dan alamat seadanya hasil searching dadakan, kami bertanya sana-sini sampai sempat kena tipu diajak muter naik angkutan umum. Oh ya, waktu di kereta kami sempat diberitau Pak Sobirin Si Om Gugel versi Nyata, kalo di Malang ngga perlu takut naik angkutan umum, katanya. Urusan tarif kita ngga akan kena tipu, kalo dibilang segitu yaa segitu. Ternyata memang (hampir) benar adanya. Meskipun sudah bisa dipastikan kalo setiap supirnya bisa ngebedain mana warga sekitar mana yang bukan, tapi tidak ada tarif “tembak”. Sekali dua kali, sih, pernah laah kena tipu pas naik angkot. Yang pertama yaa itu pas baru aja naik angkot pertama di Malang, kena tipu karena dikira bakal sampe ke tempat tujuan, ngga taunya di tengah perjalanan diturunin trus disuruh nyambung angkot lain. Sial! Untung tarifnya ga kena “tembak”.

Sistem penomoran angkot di Malang tidak seperti di Jakarta yang pake nomor atau kombinasinya dengan huruf, macam S08, S09, S10, dan teman-temannya. Tapi menggunakan inisial tempat tujuannya, seperti MM, ABG, ALG, dan semacamnya. Yang saya ingat kalo A itu berarti Arjosari, L itu Landungsari, sisa huruf  lainnya belom khatam dihafal heheh. Oh ya, jika di Jakarta kita mengenal sebutan ojek itu kendaraanya sepeda motor, nah, pas di Malang ojek juga berlaku untuk kendaraan roda empat yang kita sewa. Kan biasanya kita kenal dengan sebutan charter, sebutan ojek ini sepertinya berlaku untuk persewaan angkot saja. Kalo kita nyewa mobil pribadi, baru deh disebut nyarter.

Back to the journey. Setelah kena tipu diajak muter satu angkot perdana, di tengah perjalanan tanpa arah yang jelas kami mampir ke SPBU di sekitaran Pasar Mergan. Tujuan utamanya yaitu musholla dan toiletnya. Beberapa menit dihabiskan buat sekedar bersih-bersih, sholat Zuhur, dan istirahat. Beruntung disana ada satu stop kontak yang pastinya ngga mau disia-siakan. Langsung deh charge segala gadget ganti-gantian, terutama handphone. Tak lama, kami langsung beberes lagi siap-siap berangkat berkelana menuju pabrik Keju Malang yang lokasinya entah dimana. Kami berangkat dari SPBU naik angkot sekali dan turun di Pasar Gadang. 

'Hotel' darurat dikala harus hemat

Nanya-nanya dulu ke orang sekitar kalo mau ke pabrik keju yang ada di daerah Wajak naik angkutan apa, dan dapetlah satu angkot tujuan Wajak. Pas ditanya lagi alamat lengkapnya yang ternyata berlokasi di Desa Bambang, si supir bilang kalo kesana harus naik ojek. Sebelum tau kalo sebutan ojek itu juga berlaku untuk per-charter-an angkot, kami  sempet bingung pas dibilang “satu ojek aja kalo cuma bertiga”. Walah! Segede apa itu motornya ngojekin saya dan dua orang teman yang berbadan subur? Ngga taunya ojek yang dimaksud itu yaa angkot yang kita naikin ke daerah Wajak itu, bakal nerusin perjalanannya nganterin kami bertiga sampe ke tujuan. Oooh!

Sempat ragu karena kita juga belum tau pasti alamat yang dituju dan tarif yang dikenakan untuk kami bertiga lumayan mahal. Sampe berkali-kali keluar-masuk angkot karena bingung jadi pake jasa angkutan ini atau engga. Ransel kami bertiga yang udah diiket di atap mobil juga ikutan beberapa kali diturun-naikin. Ribet yee! Setelah beberapa kali nego yang ngandelin Risma karena lumayan fasih berbahasa Jawa, akhirnya didapat tarif yang dikira pas, dan masuk lagi ke dalam angkot yang sudah lebih sesak dijejali penumpang baru selama kami bernegosiasi. Oke, berangkaaaat…!

Perjalanan sampe ke Wajak memakan waktu yang cukup lama. Begitu semua penumpang (kecuali kami bertiga) turun karena memang Wajak adalah pemberhentian terakhir, ransel kami juga ikut dipindah masuk ke dalam ‘kabin’. Sang supir yang saya lupa tanya namanya siapa, langsung membawa kami menuju Desa Bambang. Sepanjang perjalanan tak henti-hantinya disuguhi pemandangan serba hijau membentang luas. Bentar-bentar hamparan sawah, trus ganti ladang tebu, ganti lagi kebun jagung, hingga sesekali sekelilingnya macam hutan yang ditumbuhi pohon besar. Meskipun perumahan penduduknya tidak terlalu ramai, tapi jalan yang dilalui hampir sepenuhnya sudah mulus dan beraspal. Desanya juga sudah dialiri listrik.

Nah, yang ini pas bagian jalannya rusak.
Ngga ada lampu jalan! Bayangin kalo malem gimana?!

Beberapa kali kami berhenti di tengah perjalanan untuk beli makanan, sekalian tanya alamat pabrik keju tujuan kami. Sampe akhirnya ngga lama ketemu plang Desa Bambang berupa gapura yang cukup besar. Fiuuh…..! Ets! Perjalanan ternyata belum juga selesai karena di sekitaran plang selamat datang itu tidak ada rumah penduduk sama sekali. Harus menempuh perjalanan lagi hingga ketemu pemukiman penduduk dan di sekitar situ juga ada pemakaman yang jadi patokan letak pabrik keju yang kami cari.  


Ketauan ngga fotogenik, posenya itu" mulu hahah


Bentuk pabrik yang kami dapati ternyata berupa rumah cukup besar berlantai satu, berhalaman sangat luas, dan ............... ngga ada orang sama sekali. 

Pas diintip, di dalemnya masih ada peralatan & informasi ttg keju

Duh! Mungkin lagi libur kali. Sementara pak Supir-super-baik menunggu dengan setia di depan gang, kami bertiga muterin lokasi sampe ke belakang-belakang dan menemukan semacam kandang peternakan sapi yang juga kosong ngga ada sapinya. Yang ada cuma beberapa pekerja lagi ngaduk semen. Pas kami tanya, ternyata rumah yang kami kira pabrik keju itu adalah rumah dinasnya. Sementara pabrik keju yang kami cari katanya terletak ngga jauh sebelum lokasi rumah dinas itu. Jadilah naik ‘ojek’ lagi dan ketemu satu tempat berupa rumah lagi yang sebelumnya dikasih tau penduduk sekitar adalah tempat pendinginan susu. Ah ribet! Mungkin bener disini, sekalian didinginin trus susunya diolah jadi produk lain yaitu keju, pikir kami.

Sampe depan lokasi, tempat tersebut memang benar digunakan sebagai lokasi pendinginan susu sesuai plang yang tertera. Dengan penasarannya masuk ke rumah tak berpagar yang lebih kecil dari lokasi sebelumnya, dan yang didapati lagi-lagi kosong. Haduuh! Tapi pintu-pintu ruangannya tidak terkunci dan dideteksi sepertinya ada ‘tanda-tanda kehidupan' tak lama sebelumnya. Nanya-nanya lagi ke tetangga sekitar, ternyata petugasnya lagi keluar untuk panen susu dan baru akan kembali jam setengah empat sore. Cukup lama juga kalo mau nunggu. Akhirnya kami bertiga plus pak supir nunggu di warkop terdekat sekalian isi perut. Pak supir pun kami traktir makan karena udah dengan sabar nungguin kami bertiga muterin desa demi mendapatkan informasi pabrik Keju Malang itu.

Menunggu pun usai, dan kami bertiga langsung menuju lokasi utama. Ada satu orang petugas namanya Mas Joko lagi sibuk nuangin susu ke dalam mesin pendingin. Tempat tersebut merupakan pusat pengumpul susu yang akan didinginkan. Warga desa sekitar sebagian besar memiliki sapi perah, dan setiap dua kali dalam sehari akan mengumpulkan susu sapi perahannya ke sentra pendinginan susu ini. Di tempat ini susu sapi didinginkan hingga mencapai suhu aman dan selanjutnya dikirim ke pabrik untuk diolah lebih lanjut. Lah, trus, ngga ada pembuatan keju dong? Setelah wawancara panjang lebar dengan Mas Joko, ternyata pabrik kejunya sudah tidak beroperasi lagi alias bangkrut krut! Masya Alloh! Alasannya karena kurangnya pemasaran dan segala alasan lain yang bakal panjang kalo dijelaskan. Walaah! *penonton kecewa.

Untungnya kekecewaan ngga dapet informasi dan pengetahuan tentang keju langsung dari pabriknya, terobati dengan pemberian susu sapi segar yang bener-bener segar karena baru disaring dan didinginkan doang, sebanyak hampir 2 liter, dan itu gratis tis tis! Malah tadinya mau ditambah lagi karena Mas Joko dan teman-teman sepermainannya di sana masih aja nanyain ada botol kosong lagi atau engga. Baik bener! Yang ada makin subur aja jalan-jalan ala ‘gembel’ begini. Setelah puas wawancara dan dapet susu gratisan, kami pun pamit pulang karena takut kesorean buat nyari penginapan.

Perjalanan pulang Alhamdulillah lancar jaya sepanjang jalan. Sudah cukup sore juga, makanya pak supir ngebut. Kami bertiga minta diturunin di SPBU Pasar Mergan karena ingin bersih-bersih sekalian istirahat lagi disitu. Baik bener pak supirnya, sampe kami tambahin ongkos dari yang sudah disepakati dan beri sebotol susu dari Desa Mboros sebagai tadi ucapan terima kasih.

Kembali ke musholla sekedar berbaring istirahat, mandi, dan sholat. Si Alfred dan Risma juga sempet beli colokan T (tau, kan? yaa yang itu lah) jadi ngga berebutan pas charge gadget. Kelar urusan bebersihan, ba’da Maghrib kita lanjut ke Alun-alun Malang buat cari makan malem sekalian kelayaban lagi. Cukup naik angkot sekali kita langsung sampai di depan alun-alun yang teduh karena rindangnya pepohonan, minim penerangan, dan banyak pasangan sejoli lagi ‘duduk-duduk asik’. Dikira bakal rame pedagang makanan emperan, ngga taunya sepi. Akhirnya kita keliling muterin blok sampe cukup lama demi dapet makanan yang cocok (cocok budget, perut mah fleksibel apa aja selama halal). Suasananya mirip keliling Kota Tua di Jakarta cuma lebih sepi. Lama juga kita muter-muter sampe sekitar pukul 9 malam, dan toko-toko mulai tutup, jalanan pun mulai gelap. Lumayan serem juga, men!

Masih terus berupaya nyari tempat makan, tapi mulai hopeless karena restoran fast food juga mulai tutup. Sampe akhirnya balik lagi ke tempat awal karena inget ada tukang nasi goreng pas kita lewat sebelumnya. Meskipun asin dan sepertinya kebanyakan mecin, nasi goreng sepiring habis  juga dilahap karena lapar. Nah pas makan malem itu, kami duduk di trotoar depan kantor pemerintahan Malang atau apa gitu lah. Disitu terpampang banner besar berisikan foto-foto tempat wisata andalan Kota Malang. Hemm, seandainya ada waktu dan budget lebih, pasti deh ‘disatroni’. 

Makan ngedeprok, padahal sebelahnya ada kursi

Sibuk sama hp, cuma Risma yang masih aja...

Selesai makan kami sempat keder mau nginep dimana malem itu. Mau stay di penginapan di daerah perkotaan gitu pasti nguras kantong. Tadinya mau numpang di masjid depan alun-alun, tapi Risma ngga berani. Si Alfred yang kebetulan nasrani juga nyoba minta izin numpang nginep di gereja sekitaran alun-alun, eh, tapi ngga dibolehin. Akhirnya kita putusin untuk balik ke musholla SPBU Pasar Mergan, karena itu dirasa pilihan satu-satunya dalam keadaan darurat. Nunggu angkot yang sama pas berangkat ke alun-alun ternyata udah abis jam operasinya. Haduuuh! Sesekali kami ganti-gantian nekat praktekin cara orang dapet tumpangan yang ‘cuma bermodal acungan jempol’ hahaha. Yailaah! Percuma aja. Ngga ada mobil yang berhenti, malah makin ngebut karena jalanan mulai sepi (atau karena ogah ditumpangi kami bertiga). Akhirnya kami putusin naik taksi meskipun agak nyesek juga karena jarak dekat tapi kena tarif ongkosnya lumayan. Yaa daripada masuk angin, ngga apa-apa dah. 

Setelah sampai di ‘hotel’ tujuan, kami bergegas masuk dan langsung telap kecapean. Awalnya sempet mau minta izin dulu ke petugas di SPBU, tapi udah keburu mager sampe akhirnya tertidur. Udah berasa kayak gembel beneran, baru juga pules sebentar, tiba-tiba petugas SPBU masuk trus nanya ini-itu, mau ngapain, darimana asalnya, bla bla bla. Saya dan Alfred sempet jelasin sambil atur intonasi dan muka memelas. Oke, beres, trus KTP kami berdua dicek. Si Risma udah anteng banget tidur ngga terusik masalah begituan. Lanjut lagi kami tidur, eh, ngga lama dateng lagi petugas lain. Kali ini KTP kami diminta sebagai jaminan selama menginap. Lanjut tidur lagi, Alhamdulillah kali ini ngga ada yang ganggu (yang saya inget cuma dua kali digedor tadi, tapi kata Alfred lebih dari itu. Entah apa, tapi katanya sih orang yang mau sholat). Sampe akhirnya gedoran ketiga membangunkan kami saat subuh karena ada seorang ibu yang mau sholat.

Pagi harinya setelah selesai sholat dan bersih-bersih, Risma dan Alfred mulai keliatan kurang fit. Si Risma memang agak kurang sehat sejak keberangkatan dari Jakarta, tapi makin jadi flunya pagi itu. Berdalih karena alasan kain pusaka milik Risma yang sering dijembreng, Alfred akhirnya tertular flu juga. Dan dirasanya pas bangun tidur itu jadi puncak-puncaknya flu menyerang mereka. Padahal rencananya kami harus segera berangkat menuju Cemoro Lawang (Bromo) biar kedapetan angkutan. Maka saya pastikan kembali ke mereka berdua bakal lanjut ‘naik’ atau engga. Karena suhu dan udara dingin disana bisa jadi makin memperparah kondisi badannya. Ditambah lagi karena rencana ke Penanjakan diubah jadi jalan kaki, tanpa Jeep. Akhirnya mereka berdua putuskan untuk tidak lanjut ke Bromo, dan saya pun juga menyarankan demikian.

Bulat sudah; Bromo suspended (or maybe canceled). Trus kemana jadinya? Dan dari sini lah spontanitas perjalanan kami dimulai. – to be continued –  

note: pas dapet taksi trus ditanya mau kemana, eh, dengan bodohnya kami keceplosan bilang, "ke pom bensin terdekat mas!" Hahahah dasar "gembel"!

Monday, February 4, 2013

A Whole New Backpacking Experience (Part 1): The Three 'Nekaters'


Yaaaak! Setelah hampir seminggu dibuat hectic jumpalitan mikirin PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) demi masa depan perkuliahan dan jalan-jalan, akhirnya selesai juga satu part cerita backpack trip dua minggu lalu. Saking udah lamanya ngga ngepost, jadi keder editingnya! Ribet euy! Jadi ini dipost dulu satu bagian, semoga part berikutnya ngga lama-lama menyusulnya. So let's get the journey started!


Siang hari di Stasiun Kota, saya bersama dua orang teman saat itu berniat membeli tiket kereta api Jakarta – Surabaya untuk trip kami ke Bromo seminggu setelahnya. Ini merupakan kegiatan backpacking pertama bagi kami, terutama saya. Sebelum tiket terbeli, teman saya Mai (sebut saja Jesi) menyarankan kami untuk membeli tiket rute Jakarta – Malang biar akses menuju Bromo lebih dekat. Memang, berdasarkan hasil riset online dan (sampe) lihat peta Jatim, rute menuju Bromo lebih dekat lewat Malang. Meskipun kebanyakan wisatawan memilih dari Surabaya via Probolinggo karena angkutannya jelas dan suguhan pemandangannya lebih oke. Berhubung kakaknya Jesi sudah pernah kesana dan rutenya lewat Malang, maka kita putuskan akhirnya memilih lewat Malang saja. Lagipula, dari Malang kita juga masih bisa menuju Probolinggo atau memilih langsung ke daerah Tumpang.
Setelah pertimbangan ini-itu, akhirnya didapat sudah enam tiket Kereta Api Matarmaja kelas ekonomi Jakarta – Malang dengan tanggal keberangkatan 21 Januari 2013. Sebenarnya total ada tujuh orang yang akan berangkat, tapi tidak terbeli satu tiketnya karena telat mengabari nomor identitas. Siasatnya, beli menyusul secepatnya biar masih bisa request nomer kursi yang berdekatan. Kita cuma beli tiket keberangkatan, bukan PP (pulang-pergi). Karena mikirnya, nanti beli disana aja pas hari pertama sampai. Oke, beres urusan tiket, sekarang tinggal mikirin “bakal ngapain aja disana”.

Lebih kurang seminggu sebelum keberangkatan, sesekali kami bertanya dan berdiskusi satu sama lain, mulai dari masalah penginapan, budget berapa banyak, sampai ngajak teman lain biar tambah seru plus yang pasti budget bisa lebih ditekan. Awalnya cukup optimistis bisa ngajak beberapa teman lagi. Alih-alih bakal seneng jalan bareng rame-rame temen sekelas, yang ada malah sebaliknya, satu per satu teman mulai memutuskan batal berangkat karena alasan tertentu *sigh*. Kabar demi kabar via sms saya terima dan membalasnya dengan “Yasudah ngga apa-apa. Next time ikut yaa!”. Sedih bener! Sampai sekitar H-4 keberangkatan, tersisa empat orang “penasaran” yang masih berupaya untuk tetap berangkat, meskipun di Indonesia saat itu sedang masuk musim penghujan. Bahkan Jabodetabek lagi “heboh-hebohnya” diguyur hujan sampai dilanda banjir parah (siklus banjir lima tahunan). Saya pun setiap hari terus berdoa semoga cuaca kembali cerah terutama saat kami berlibur, bahkan tiap pagi hingga siang sempat-sempatnya ngeliatin kondisi awan di depan rumah sambil memunculkan prediksi sendiri yang pastinya selalu dibawa optimis hahaha.

Anyway, mengunjungi Taman Nasional Bromo Tengger memang lebih disarankan pada saat musim kemarau. Karena salah satu highlight trip­-nya adalah sunrise dari puncak Penanjakan yang tentunya lebih spektakuler dinikmati saat langit bersih karena tidak terhalang kabut atau awan. Tapi mengunjunginya saat musim penghujan juga memiliki keistimewaan tersendiri dan bukan sebuah halangan, selama itu bukan hujan lebat yang terjadi berhari-hari karena terkadang beberapa lokasi wisatanya ditutup dan akses menuju lokasinya yang cukup berbahaya.

Dua hari menjelang tanggal berangkat, Jesi tiba-tiba mengabarkan kalau dia batal ikut dan menyarankan untuk diundur liburannya karena khawatir masalah cuaca. Ditambah lagi munculnya berita di tv dan media online bahwa ada jalan penghubung dua kecamatan di Probolinggo yang ambrol akibat tingginya curah hujan disana, membuat orang tuanya tambah snewen. Dudududu, yasutralah! Maka tersisa tiga orang, yaitu saya, Alfred, dan Risma. Awalnya saya ragu dua orang teman ini bakal mutusin tetep berangkat atau memilih batal karena sedikit yang berangkat. Tapi ternyata mereka pilih untuk tetap berangkat. Iyess! Atas nama nekat dan doa tetap selamat, kami pun berangkat!


Setelah packing dadakan semalam sebelumnya, pagi itu saya berangkat menuju Stasiun Pasar Senen dan janjian bertemu Alfred dan Risma disana. Kereta kami berangkat 14.00 WIB, dan saya sampai di stasiun sekitar 1,5 jam sebelumnya. Niat saya datang lebih awal adalah untuk me-refund satu tiket kakak saya yang batal ikut. Padahal sebelumnya di rumah uang tiketnya sudah diganti cash hahah (sukarela lho, bukan saya yang minta ganti). Yaa namanya usaha biar ngga rugi (lebih tepatnya biar untung) heheh. Tapi apa boleh dikata, ternyata harus disertai fotokopi KTP bersangkutan yang saat itu saya tidak bawa. Sama halnya dengan Risma yang berniat me-refund dua tiket teman yang batal berangkat. Karena tiga tiket teman yang batal berangkat tidak bisa di-refund, maka jadilah kami bertiga menguasai enam seat yang sudah dibeli selama perjalanan hehehe. Aaaah legaaa!! Sesampainya selonjoran nikmat di dalam gerbong, tak lama sebelum kereta melaju, Alfred bertemu dengan seorang temannya yang ternyata masih satu kampus dengan kami. Namanya Tyo (ngga tau ejaannya, by the way doi cewek lho!). Si Tyo ini ternyata bersama dengan sekitar 20an orang teman beserta beberapa dosennya sedang mengadakan acara tour yang merupakan kegiatan kampus, berhubung jurusan mereka adalah Usaha Jasa Pariwisata. Yang berbeda, katanya, kali ini yang menyusun kegiatan adalah mahasiswanya dan dibuat bergaya backpacker. Kelihatan memang, dari bawaan mereka semua termasuk dosen-dosennya yang berupa ransel bahkan carrier yang tidak terlalu besar. Seru deh! Dan rute liburan mereka salah satunya sama dengan niat kami bertiga, yaitu ke Bromo. Si Tyo sempat menawarkan kami bertiga untuk gabung di villa yang mereka sewa di daerah Batu, karena tau kalau kami liburan kesana belum jelas mau kemana aja, terutama masalah penginapannya hahaha. Tapi dengan alasan tidak enak hati, akhirnya kami menolaknya (emang dasar nekat!). Tapi wanti-wanti juga seandainya kepepet, yaa apa boleh buat. Mungkin akan kami terima juga hahaha.

Risma, Saya, Alfred. Siap 'ngubek' Malang



Alfred  & Tyo
Aduh yang ini kenalannya sama si Alfred, saya ngga tau namanya
Sesuai dengan yang tertera di tiket, kereta api Matarmaja yang kami naiki berangkat tepat pukul 14.05 WIB. Perjalanan diperkirakan akan menempuh waktu selama lebih kurang 18 jam *syalalala, lama aja. siapin obat tidur*. Sepanjang perjalanan ngapain aja? Pada 6 jam pertama, perjalanan masih fine & fun aja. Ngobrol ngalor ngidul, ini-itu, terutama (tetep) masalah rute di Malang ngapain aja, masalah penginapan gimana. Yaa tapi, namanya juga kita bertiga mah nekat, udah direncanain di awal juga, kesananya mah ngga tau gimana. Space seat kami yang bisa dibilang lega ini, beberapa kali “disinggahi” si Tyo sekedar  ikut ngobrol dan sesekali buat dia tidur. Si tyo ini orangnya ternyata asik. Kita banyak dapet info darinya dan juga dari satu dosen pendampingnya yang waktu itu ikut, Pak Sobirin (kalo saya ngga salah). Saya sempet heran, beliau segitu detilnya tau daerah yang bakal kami kunjungi, bahkan nama jalan dan gangnya sekalipun. Hebat! Ngga heran deh, kalau si Tyo menjulukinya Om Gugel.

Menjelang malam, mulai deh satu per satu dari kami bergiliran ‘ronda’ di kereta. Maksudnya ganti-gantian tidurnya. Sekedar waspada aja, takut ada barang-barang yang hilang. Si Alfred yang sepanjang  sore di awal perjalanan ngga tidur-tidur, malamnya mau ngga mau dapet jatah tidur. Jadilah antara saya dan Risma yang dapet giliran ronda malam. Saya yang kalau ngeliat suasana gelap bawaannya ngantuk melulu, sering kedapetan tidur di tengah jam ronda hahaha. Ternyata, dapet masing-masing dua seat bagi kami, tidak menjamin bakal tidur nyenyak selama perjalanan. Mata memang bawaanya mau merem melulu, tapi susah banget nyari posisi enak yang bisa bikin kita terlelap agak lama. Waktu perjalanan pun terasa lamaaaa aja. Tiap kali liat jam, rasanya cuma nambah 15 menit doang. Sekalinya bangun gara-gara badan pegel atau mati gaya ngga dapet posisi tidur, biasanya yaa ngga lain, makan atau nyemil. Main hp yaa bosen, online yaa rada males (saya doang, mungkin), baca buku apalagi (yaa wong yang saya bawa yaa buku yang udah khatam beberapa kali -___-). Satu kali saking bosen dan pegelnya badan, saya bareng Tyo jalan-jalan ke gerbong lain. Kami susuri dari gerbong kami yang hampir belakang banget, sampe gerbong kelas ekonomi AC yang ada hampir di depan. Walah! Emang dasar kurang kerjaan! Jalannya pun rada ngeri. Beberapa kali harus ngelangkahin orang yang menghalangi jalan atau bahkan nekat tidur di tengah jalan dalam gerbong. Ck ck ck.

Menjelang pagi, masih dalam suasana “mati gaya” dan badan pegal-pegal akhirnya kami sampai di daerah Kediri. Dari Stasiun Kediri menuju Malang inilah suguhan pemandangannya mulai memanjakan mata. Rute yang dilalui tidak seperti rute perjalanan sebelum-sebelumnya. Saya malah merasa sedang naik kereta wisata macam yang ada di Ambarawa (iya kali ah! Saya juga belom pernah padahal heheh). Ditambah sang surya yang mulai menampakkan rupanya dan makin meninggi, makin jadi aja deh pemandangannya. Mendekati Stasiun Malang (Kota Baru), satu rute yang paling saya suka yaitu saat masuk kawasan semacam hutan dan perbukitan. Sungguh sebuah perjalanan kereta api yang tidak pernah saya sangka. Karena pengalaman naik kereta sebelumnya ke Surabaya, (sepertinya) lewat jalur utara yang suguhannya sebagian besar laut. Aaahhh! Ke-matigayaan dan pegal rasanya mulai luntur seketika memasuki Stasiun Malang.

The scenery (lagi berawan, tapi ga sampe ujan)
View lagi (abaikan label fotonya)
Another view

Sesampainya di Kediri mulai deh kyak gini
Berjalan keluar Stasiun Malang, saya mulai jatuh cinta dengan suasana kotanya. Rasanya seperti berada di daerah Ciawi, Bogor. Daerah kota yang sudah banyak bangunan tertata rapi, dan di kejauhan terlihat gunung dan perbukitan. Teringat kondisi Jakarta yang sedang diguyur hujan lebat sebelum keberangkatan, kekhawatiran saya akan cuaca di Malang yang dilanda thunderstorm pupus sudah. Cuacanya saat kami sampai ternyata cerah sekali , hanya sesekali berawan. Yihaaa! Selamat datang di Malang!
- to be continued -


Touchdown Malang!


 ps :  saya lupa nonaktifin label tanggal di kamera, karena menurut saya ganggu banget. Bodohnya lagi, tanggal yang tertera itu tahunnya 2010. *self-jitak! makanya di beberapa foto yang tidak bisa "terselamatkan" saya tutup pake label seadanya sekalian jadi watermark ecek-ecek hahah. Dan saya baru nyadar pas di hari ketiga :D



Monday, January 28, 2013

Comeback Post

Hi . . ! It's been like ages, huh? Really missed blogging like back then. Though, yeah! I'm not really good at it hahah. Beberapa postingan (bagi yang sudah sempet baca) memang saya unpublished, karena sepertinya butuh perbaikan (ga penting juga padahal isinya hahah).

Berhubung baru balik backpack trip jadi dapet banyak cerita yang sepertinya bisa di-share, sekaligus sebagai upaya biar blog ini tidak hilang ditelan zaman (apasik?).

Yoweslaah.. Jadi postingan ini ceritanya sebagai pembuka aja setelah sekiaan lama ngga produktif sama sekali (emang ngga pernah juga, sebenernya) dan sebelum postingan berupa catatan perjalanan saya di-publish. Semoga dalam waktu dekat bisa segera kelar tulisannya.

Okay then, stay tuned! I'll post them soon!