Balada Extend Sehari, Rencana? Yasutralah
(abaikan perubahan tata bahasanya. lama-lama badan ikut kaku karenanya :D)
Sesampainya di luar stasiun,
hampir saja terlewat, kami langsung bergegas membeli tiket pulang menuju
Jakarta untuk hari Kamis. Tahap per tahap dilalui, sampai berniat beli empat seat biar dapet space lebih, eh, ternyata tiket habis! Yang ada kami harus menunggu
hingga 31 Januari untuk dapet tiket kelas ekonomi biasa (demi budget). Duh! Padahal saya sebagai
kepala rombongan (halah) sudah menyarankan untuk membawa budget yang sudah dihitung-hitung pas dengan embel-embelnya, tanpa
memperhitungkan dana tak terduga macam kehabisan tiket bahkan extend begini. Kami pun pusing. Sempat
berdiskusi cukup lama sambil keluar stasiun mencari makanan karena lapar belum
sarapan.
Setelah mendapatkan menu sarapan berupa makanan emperan super murah, kami terus melanjutkan diskusi mengenai transportasi pulang. Di tengah diskusi tersebut, kami bertemu dengan dua orang teman backpacker baru dari Jakarta. Namanya Indah dan Fitrah. Si Fitrah ini ternyata mahasiswi psikologi se-universitas dengan kami dan kenal dengan teman UKM-nya Alfred. Dan Indah, ternyata kenal dengan teman se-prodi kami yang tak lain adalah teman SMA-nya. Hahaha lucu sekali! Sudah hampir ke ujung pulau Jawa padahal. Sungguh sempit pulau ini ternyata! Si Indah dan Fitrah ini nasibnya ngga jauh beda kayak kami bertiga. Mereka berdua juga baru sampai di Malang dan tidak kedapetan tiket pulang. Mereka pun membeli tiket kereta kelas ekonomi AC untuk hari Jumat, karena itu pilihan satu-satunya untuk pulang lebih cepat. Meskipun sisa uang mereka tinggal 50 ribu rupiah padahal pulang ke Jakarta masih tiga hari lagi. Kasihan juga sama mereka. Sudah dua-duanya cewek, uang tinggal segitu pula. Untungnya (masih aja dibilang untung), mereka punya teman di Malang yang untuk beberapa hari masih bisa ditebengin. Atas saran mereka pula, kami bertiga akhirnya membeli tiket kelas ekonomi AC karena khawatir duit keburu abis menunggu sampe tanggal 31 Januari (pasti abis kalo nekat nunggu). Daripada di daerah orang kita ngga punya kenalan sama sekali, mending pulang secepatnya deh meskipun harga tiketnya hampir empat kali lebih mahal dari tiket keberangkatan kami, plus harus nambah liburan sehari karena rencana pulang awalnya hari Kamis. Hmmh.. the real backpacking atmosphere had finally come that time. Akhirnya tiket pun terbeli hanya tiga. Ya iyalah, mana kuat dan rela beli empat tiket dengan harga segitu. Kelar sudah urusan tiket pulang, aman sudah meski masih was-was semoga duit cukup selama muterin Malang dengan extend sehari. The show must go on!
Mengingat duit yang sudah terpotong banyak karena tiket, akhirnya kita ubah rencana yang tadinya ke Bromo kemungkinan masih cukup untuk bayar patungan jeep, jadi berjalan kaki menuju Penanjakan. Dari hasil searching dan nanya warga setempat katanya ke Penanjakan memang bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari Cemoro Lawang. Dan karena extend sehari ini pula, rencana menuju Cemoro Lawang yang harusnya dimulai sesampainya di Malang, diundur jadi keesokan harinya. Berhubung sampai di Malang masih sekitar jam 10 pagi, maka kami memiliki waktu yang cukup panjang untuk menghabiskan hari pertama. Jadilah kami putuskan untuk berkeliling kota menggunakan angkutan umum.
Ngebolang Sampai ke Desa Bambang
Pas diskusi mau kemana di hari
pertama, Alfred mengusulkan untuk mengunjungi satu lokasi pabrik keju di Malang
yang sebelumnya pernah diceritakan oleh dosen kami. Berbekal modal (selalu) nekat dan alamat seadanya hasil searching dadakan, kami bertanya
sana-sini sampai sempat kena tipu diajak muter naik angkutan umum. Oh ya, waktu di kereta
kami sempat diberitau Pak Sobirin Si Om Gugel versi Nyata, kalo di Malang ngga
perlu takut naik angkutan umum, katanya. Urusan tarif kita ngga akan kena tipu,
kalo dibilang segitu yaa segitu. Ternyata memang (hampir) benar adanya.
Meskipun sudah bisa dipastikan kalo setiap supirnya bisa ngebedain mana warga
sekitar mana yang bukan, tapi tidak ada tarif “tembak”. Sekali dua kali, sih, pernah
laah kena tipu pas naik angkot. Yang pertama yaa itu pas baru aja naik angkot
pertama di Malang, kena tipu karena dikira bakal sampe ke tempat tujuan, ngga
taunya di tengah perjalanan diturunin trus disuruh nyambung angkot lain. Sial! Untung tarifnya ga kena “tembak”.
Sistem penomoran angkot di Malang
tidak seperti di Jakarta yang pake nomor atau kombinasinya dengan huruf, macam
S08, S09, S10, dan teman-temannya. Tapi menggunakan inisial tempat
tujuannya, seperti MM, ABG, ALG, dan semacamnya. Yang saya ingat kalo A itu
berarti Arjosari, L itu Landungsari, sisa huruf
lainnya belom khatam dihafal heheh. Oh ya, jika di Jakarta kita mengenal
sebutan ojek itu kendaraanya sepeda motor, nah, pas di Malang ojek juga berlaku
untuk kendaraan roda empat yang kita sewa. Kan biasanya kita kenal dengan
sebutan charter, sebutan ojek ini
sepertinya berlaku untuk persewaan angkot saja. Kalo kita nyewa mobil pribadi, baru
deh disebut nyarter.
Back to the journey. Setelah kena tipu diajak muter satu angkot
perdana, di tengah perjalanan tanpa arah yang jelas kami mampir ke SPBU di sekitaran
Pasar Mergan. Tujuan utamanya yaitu musholla dan toiletnya. Beberapa menit
dihabiskan buat sekedar bersih-bersih, sholat Zuhur, dan istirahat. Beruntung
disana ada satu stop kontak yang pastinya ngga mau disia-siakan. Langsung deh charge segala gadget
ganti-gantian, terutama handphone. Tak lama, kami langsung beberes lagi
siap-siap berangkat berkelana menuju pabrik Keju Malang yang lokasinya entah
dimana. Kami berangkat dari
SPBU naik angkot sekali dan turun di Pasar Gadang.
![]() |
'Hotel' darurat dikala harus hemat |
Nanya-nanya dulu
ke orang sekitar kalo mau ke pabrik keju yang ada di daerah Wajak naik angkutan apa, dan dapetlah
satu angkot tujuan Wajak. Pas ditanya lagi alamat lengkapnya yang ternyata
berlokasi di Desa Bambang, si supir bilang kalo kesana harus naik ojek. Sebelum
tau kalo sebutan ojek itu juga berlaku untuk per-charter-an
angkot, kami sempet bingung pas dibilang
“satu ojek aja kalo cuma bertiga”. Walah! Segede apa itu motornya ngojekin saya
dan dua orang teman yang berbadan subur? Ngga taunya ojek yang dimaksud itu yaa
angkot yang kita naikin ke daerah Wajak itu, bakal nerusin perjalanannya
nganterin kami bertiga sampe ke tujuan. Oooh!
Sempat ragu karena kita juga
belum tau pasti alamat yang dituju dan tarif yang dikenakan untuk kami bertiga
lumayan mahal. Sampe berkali-kali keluar-masuk angkot karena bingung jadi pake
jasa angkutan ini atau engga. Ransel kami bertiga yang udah diiket di atap
mobil juga ikutan beberapa kali diturun-naikin. Ribet yee! Setelah beberapa kali
nego yang ngandelin Risma karena lumayan fasih berbahasa Jawa, akhirnya didapat
tarif yang dikira pas, dan masuk lagi ke dalam angkot yang sudah lebih sesak
dijejali penumpang baru selama kami bernegosiasi. Oke, berangkaaaat…!
Perjalanan sampe ke Wajak memakan
waktu yang cukup lama. Begitu semua penumpang (kecuali kami bertiga) turun
karena memang Wajak adalah pemberhentian terakhir, ransel kami juga ikut
dipindah masuk ke dalam ‘kabin’. Sang supir yang saya lupa tanya namanya siapa,
langsung membawa kami menuju Desa Bambang. Sepanjang perjalanan tak
henti-hantinya disuguhi pemandangan serba hijau membentang luas. Bentar-bentar hamparan
sawah, trus ganti ladang tebu, ganti lagi kebun jagung, hingga sesekali
sekelilingnya macam hutan yang ditumbuhi pohon besar. Meskipun perumahan
penduduknya tidak terlalu ramai, tapi jalan yang dilalui hampir sepenuhnya
sudah mulus dan beraspal. Desanya juga sudah dialiri listrik.
Nah, yang ini pas bagian jalannya rusak. Ngga ada lampu jalan! Bayangin kalo malem gimana?! |
Beberapa kali kami berhenti di
tengah perjalanan untuk beli makanan, sekalian tanya alamat pabrik keju tujuan
kami. Sampe akhirnya ngga lama ketemu plang Desa Bambang berupa gapura yang
cukup besar. Fiuuh…..! Ets! Perjalanan ternyata belum juga selesai karena di
sekitaran plang selamat datang itu tidak ada rumah penduduk sama sekali. Harus
menempuh perjalanan lagi hingga ketemu pemukiman penduduk dan di sekitar situ
juga ada pemakaman yang jadi patokan letak pabrik keju yang kami cari.
Ketauan ngga fotogenik, posenya itu" mulu hahah |
Bentuk pabrik yang kami dapati ternyata berupa rumah cukup besar berlantai satu, berhalaman sangat luas, dan ............... ngga ada orang sama sekali.
Pas diintip, di dalemnya masih ada peralatan & informasi ttg keju |
Duh! Mungkin
lagi libur kali. Sementara pak Supir-super-baik menunggu dengan setia di depan
gang, kami bertiga muterin lokasi sampe ke belakang-belakang dan menemukan
semacam kandang peternakan sapi yang juga kosong ngga ada sapinya. Yang ada
cuma beberapa pekerja lagi ngaduk semen. Pas kami tanya, ternyata rumah yang
kami kira pabrik keju itu adalah rumah dinasnya. Sementara pabrik keju yang
kami cari katanya terletak ngga jauh sebelum lokasi rumah dinas
itu. Jadilah naik ‘ojek’ lagi dan ketemu satu tempat berupa rumah lagi yang
sebelumnya dikasih tau penduduk sekitar adalah tempat pendinginan susu. Ah
ribet! Mungkin bener disini, sekalian didinginin trus susunya diolah jadi
produk lain yaitu keju, pikir kami.
Sampe depan lokasi, tempat
tersebut memang benar digunakan sebagai lokasi pendinginan susu sesuai plang
yang tertera. Dengan penasarannya masuk ke rumah tak berpagar yang lebih kecil
dari lokasi sebelumnya, dan yang didapati lagi-lagi kosong. Haduuh! Tapi pintu-pintu
ruangannya tidak terkunci dan dideteksi sepertinya ada ‘tanda-tanda kehidupan'
tak lama sebelumnya. Nanya-nanya lagi ke tetangga sekitar, ternyata petugasnya
lagi keluar untuk panen susu dan baru akan kembali jam setengah empat sore. Cukup
lama juga kalo mau nunggu. Akhirnya kami bertiga plus pak supir nunggu di warkop terdekat sekalian isi perut. Pak supir pun kami traktir makan
karena udah dengan sabar nungguin kami bertiga muterin desa demi mendapatkan
informasi pabrik Keju Malang itu.
Menunggu pun usai, dan kami
bertiga langsung menuju lokasi utama. Ada satu orang petugas namanya Mas Joko
lagi sibuk nuangin susu ke dalam mesin pendingin. Tempat tersebut
merupakan pusat pengumpul susu yang akan didinginkan. Warga desa sekitar sebagian
besar memiliki sapi perah, dan setiap dua kali dalam sehari akan mengumpulkan
susu sapi perahannya ke sentra pendinginan susu ini. Di tempat ini susu sapi
didinginkan hingga mencapai suhu aman dan selanjutnya dikirim ke pabrik untuk diolah
lebih lanjut. Lah, trus, ngga ada pembuatan keju dong? Setelah wawancara
panjang lebar dengan Mas Joko, ternyata pabrik kejunya sudah tidak beroperasi
lagi alias bangkrut krut! Masya Alloh! Alasannya karena kurangnya pemasaran dan
segala alasan lain yang bakal panjang kalo dijelaskan. Walaah! *penonton kecewa.
Untungnya kekecewaan ngga dapet informasi dan pengetahuan tentang keju langsung dari pabriknya, terobati dengan pemberian susu sapi segar yang bener-bener segar karena baru disaring dan didinginkan doang, sebanyak hampir 2 liter, dan itu gratis tis tis! Malah tadinya mau ditambah lagi karena Mas Joko dan teman-teman sepermainannya di sana masih aja nanyain ada botol kosong lagi atau engga. Baik bener! Yang ada makin subur aja jalan-jalan ala ‘gembel’ begini. Setelah puas wawancara dan dapet susu gratisan, kami pun pamit pulang karena takut kesorean buat nyari penginapan.
Untungnya kekecewaan ngga dapet informasi dan pengetahuan tentang keju langsung dari pabriknya, terobati dengan pemberian susu sapi segar yang bener-bener segar karena baru disaring dan didinginkan doang, sebanyak hampir 2 liter, dan itu gratis tis tis! Malah tadinya mau ditambah lagi karena Mas Joko dan teman-teman sepermainannya di sana masih aja nanyain ada botol kosong lagi atau engga. Baik bener! Yang ada makin subur aja jalan-jalan ala ‘gembel’ begini. Setelah puas wawancara dan dapet susu gratisan, kami pun pamit pulang karena takut kesorean buat nyari penginapan.
Perjalanan pulang Alhamdulillah
lancar jaya sepanjang jalan. Sudah cukup sore juga, makanya pak supir ngebut. Kami
bertiga minta diturunin di SPBU Pasar Mergan karena ingin bersih-bersih
sekalian istirahat lagi disitu. Baik bener pak supirnya, sampe kami tambahin
ongkos dari yang sudah disepakati dan beri sebotol susu dari Desa Mboros sebagai
tadi ucapan terima kasih.
Kembali ke musholla sekedar berbaring
istirahat, mandi, dan sholat. Si Alfred dan Risma juga sempet beli colokan T (tau, kan? yaa yang itu lah) jadi ngga berebutan pas charge gadget. Kelar urusan bebersihan, ba’da Maghrib kita lanjut ke
Alun-alun Malang buat cari makan malem sekalian kelayaban lagi. Cukup naik angkot sekali kita langsung sampai di
depan alun-alun yang teduh karena rindangnya pepohonan, minim penerangan, dan banyak pasangan
sejoli lagi ‘duduk-duduk asik’. Dikira bakal rame pedagang makanan emperan,
ngga taunya sepi. Akhirnya kita keliling muterin blok sampe cukup lama demi
dapet makanan yang cocok (cocok budget,
perut mah fleksibel apa aja selama halal). Suasananya mirip keliling Kota Tua
di Jakarta cuma lebih sepi. Lama juga kita muter-muter sampe sekitar pukul 9
malam, dan toko-toko mulai tutup, jalanan pun mulai gelap. Lumayan serem juga, men!
Masih terus berupaya nyari tempat makan, tapi mulai hopeless karena restoran fast food juga mulai tutup. Sampe akhirnya balik lagi ke tempat awal karena inget ada tukang nasi goreng pas kita lewat sebelumnya. Meskipun asin dan sepertinya kebanyakan mecin, nasi goreng sepiring habis juga dilahap karena lapar. Nah pas makan malem itu, kami duduk di trotoar depan kantor pemerintahan Malang atau apa gitu lah. Disitu terpampang banner besar berisikan foto-foto tempat wisata andalan Kota Malang. Hemm, seandainya ada waktu dan budget lebih, pasti deh ‘disatroni’.
Masih terus berupaya nyari tempat makan, tapi mulai hopeless karena restoran fast food juga mulai tutup. Sampe akhirnya balik lagi ke tempat awal karena inget ada tukang nasi goreng pas kita lewat sebelumnya. Meskipun asin dan sepertinya kebanyakan mecin, nasi goreng sepiring habis juga dilahap karena lapar. Nah pas makan malem itu, kami duduk di trotoar depan kantor pemerintahan Malang atau apa gitu lah. Disitu terpampang banner besar berisikan foto-foto tempat wisata andalan Kota Malang. Hemm, seandainya ada waktu dan budget lebih, pasti deh ‘disatroni’.
Makan ngedeprok, padahal sebelahnya ada kursi |
Sibuk sama hp, cuma Risma yang masih aja... |
Selesai makan kami sempat keder mau nginep dimana malem itu. Mau stay di penginapan di daerah perkotaan
gitu pasti nguras kantong. Tadinya mau numpang di masjid depan alun-alun, tapi
Risma ngga berani. Si Alfred yang kebetulan nasrani juga nyoba minta izin
numpang nginep di gereja sekitaran alun-alun, eh, tapi ngga dibolehin. Akhirnya
kita putusin untuk balik ke musholla SPBU Pasar Mergan, karena itu dirasa
pilihan satu-satunya dalam keadaan darurat.
Nunggu angkot yang sama pas berangkat ke alun-alun ternyata udah abis jam
operasinya. Haduuuh! Sesekali kami ganti-gantian nekat praktekin cara orang
dapet tumpangan yang ‘cuma bermodal acungan jempol’ hahaha. Yailaah! Percuma aja. Ngga ada
mobil yang berhenti, malah makin ngebut karena jalanan mulai sepi (atau karena ogah ditumpangi kami bertiga). Akhirnya kami putusin naik
taksi meskipun agak nyesek juga karena jarak dekat tapi kena tarif ongkosnya
lumayan. Yaa daripada masuk angin, ngga apa-apa dah.
Setelah sampai di ‘hotel’
tujuan, kami bergegas masuk dan langsung telap kecapean. Awalnya sempet mau
minta izin dulu ke petugas di SPBU, tapi udah keburu mager sampe akhirnya tertidur. Udah berasa kayak gembel
beneran, baru juga pules sebentar, tiba-tiba petugas SPBU masuk trus nanya
ini-itu, mau ngapain, darimana asalnya, bla bla bla. Saya dan Alfred sempet
jelasin sambil atur intonasi dan muka memelas. Oke, beres, trus KTP kami berdua dicek. Si Risma udah anteng banget tidur ngga terusik
masalah begituan. Lanjut lagi kami tidur, eh, ngga lama dateng lagi petugas
lain. Kali ini KTP kami diminta sebagai jaminan selama menginap. Lanjut tidur
lagi, Alhamdulillah kali ini ngga ada yang ganggu (yang saya inget cuma dua
kali digedor tadi, tapi kata Alfred lebih dari itu. Entah apa, tapi katanya sih
orang yang mau sholat). Sampe akhirnya gedoran ketiga membangunkan kami saat
subuh karena ada seorang ibu yang mau sholat.
Pagi harinya setelah selesai sholat
dan bersih-bersih, Risma dan Alfred mulai keliatan kurang fit. Si Risma memang
agak kurang sehat sejak keberangkatan dari Jakarta, tapi makin jadi flunya pagi
itu. Berdalih karena alasan kain pusaka milik Risma yang sering dijembreng,
Alfred akhirnya tertular flu juga. Dan dirasanya pas bangun tidur itu jadi
puncak-puncaknya flu menyerang mereka. Padahal rencananya kami harus segera
berangkat menuju Cemoro Lawang (Bromo) biar kedapetan angkutan. Maka saya
pastikan kembali ke mereka berdua bakal lanjut ‘naik’ atau engga. Karena suhu
dan udara dingin disana bisa jadi makin memperparah kondisi badannya. Ditambah
lagi karena rencana ke Penanjakan diubah jadi jalan kaki, tanpa Jeep. Akhirnya
mereka berdua putuskan untuk tidak lanjut ke Bromo, dan saya pun juga
menyarankan demikian.
Bulat sudah; Bromo suspended (or maybe canceled). Trus
kemana jadinya? Dan dari sini lah spontanitas perjalanan kami dimulai. – to be
continued –
note: pas dapet taksi trus ditanya mau kemana, eh, dengan bodohnya kami keceplosan bilang, "ke pom bensin terdekat mas!" Hahahah dasar "gembel"!
note: pas dapet taksi trus ditanya mau kemana, eh, dengan bodohnya kami keceplosan bilang, "ke pom bensin terdekat mas!" Hahahah dasar "gembel"!
mantab
ReplyDeleteCV Tugu
Kasian udah jauh jauh eh pabriknya udah bangkrut😂. Oiya disamping pabrik itu rumahku
ReplyDelete